Rabu, 17 Februari 2016

POST TRAUMATIC SYNDROME DISORDER (PTSD)

A.  Pendahuluan
         Kejadian trauma merupakan kejadian yang berbahaya, berebihan, dan mendesak ditandai dengan kekuatan yang ekstrim atau mendesak. Kejadian traumatis mengandung 3 elemen yang penting yaitu kejadian tersebut tidak dapat diprediksikan kapan akan terjadi, individu yang mengalami kejadian tidak siap dihadapkan dengan kejadian tersebut, dan terakhir adalah tidak adanya tindakan yang dapat dilakukan oleh individu untuk mencegah kejadian tersebut.
           Kejadian traumatis dapat menimbulkan stress yang sangat besar dan menghambat kemampuan seseorang mengatasinya. Kejadian traumatis menghasilkan perubahan mendalam dan berjangka waktu lama pada segi fisik, emosi, kognisi, dan memori. Reaksi traumatis ini dapat terjadi apabila tindakan apapun tidak mungkin dilakukan oleh individu. Seseorang yang mengalami kejadian traumatis mungkin mengalami emosi yang intens tanpa disertai memori yang jelas tentang kejadian tersebut. Kemungkinan lainnya orang tersebut mengingat segalanya tanpa emosi. Gejala lain adalah orang tersebut akan sangat mudah dan tersinggung tanpa sebab.
            Dewasa ini banyak terjadi kejadian seperti tsunami, gempa bumi, gunung meletus dan banjir. Kejadian tersebut menimbulkan banyak korban baik harta atau jiwa umumnya menimbulkan suatu trauma psikologis yang berat baik bagi korban atau keluarga. Selain bencana yang terjadi, berbagai penyakit berat yang dialami individu pun kini bermunculan seperti kanker, rheumatoid arthritis, jantung, diabetes, renal failure, multiple sclerosis, AIDS dan penyakit lain yang mengancam jiwa. Kejadian tersebut merupakan bentuk dari kejadian traumatis. Trauma yang dialami dari kejadian tersebut merupakan faktor stresor yang berat. Apabila orang tersebut tidak dapat mengatasinya, akan dapat menyebabkan suatu kejadian Ganggu Stres Pasca Trauma atau Post Traumatic Syndrome Disorder (PTSD).
            Di Amerika di perkirakan prevalensi penduduk yang menderita PTSD berkisar1 sampai 14% dari populasi yang ada. Data lain berdasarkan survey yang di lakukan oleh universitas syiah kuala, International Organization for Migration (IOM) dan universitas harvard pada september 2006 di temukan penduduk yang menderita depresi mencapai 65%, 69% mengalami gejala kecemasan dan 34% mengalami PTSD. Survey berikutnya pada tahun 2007, sekitar 3 tahun setelah tsunami  di 14 kabupaten di aceh di temukan sebanyak 35% menderita depresi, 10% menderita PTSD dan 39% mengalami gejala kecemasan. PERSI (2008) menyebutkan bahwa di perkirakan sekitar 50% penduduk di daerah bencana mengalami stess psikologis bermakna. Sebanyak 10-30% dari mereka yang mengalami kejadian traumatik akan menderita PTSD.
            Penderita PTSD akan mempunyai gambaran berupa perasaan cemas berlebihan dan ketakutan apabila teringat atau melewati tempat kejadia itu terjadi. Perasaan tersebut biasanya disertai dengan ketegangan motorik, hiperaktivitas otonom dan kewaspadaan yang berlebih. Dalam kejadian-kejadian traumatis, sering kali tanda-tanda,suara,bau dan hal-hal lain terhubung dengan kesadaran dan ketidasadaran serta respon tubuh sebagai memori tentang peristiwa tersebut. Hal-hal ini menjadi pemicu yang mengakibatkan terjadinya reaksi yang intensitasnya sama dengan kondisi aslinya dulu. Sejumlah memori dapat diingat individu dengan sangat jelas, tapi beberapa aspek mungkin hilang atau tidak dapat diingat lagi.
            Dalam mendiagnosa PTSD yang terpenting adalah trauma fisik atau psikologis sebagai faktor stesornya. Gangguan yang dialami individu yang menderita PTSD dapat membawa dampak negatif pada aspek kehidupanya. Sehingga penanganan PTSD harus tepat dan diperhatikan secara serius karena penanggananya tidak hanya pada keluhan fisik saja, melainkan juga padapsikologisnya. Hal tersebut bertujuan untuk membantu penderita melupakan kejadian tersebut dan dapat melanjutkan kehidupanya. Sehingga diharapkan penderita PTSD dapat sembuh baik fisik maupun kejiwaan.

B. Definisi
            PTSD didefinisikan oleh Nanda (2005) sebagai respon maladaptif yang terus menerus akibat peristiwa traumatis secara berlebihan. Menurut Stuart dan Laria (2005) PTSD adalah suatu sindrom yang dialami oleh seseorang yang mengalami kejadian traumatis dan individu tersebut tidak mampu menghilangkan ingatan akan kejadian tersebut dari pikiranya. Sedangkan National Institute of Mental Health (NIMH) (2008) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan kecemasan yang dialami oleh individu yang melihat atau mengalami kejadian yang berbahaya. PTSD adalah suatu kondisi yang ditandai dengan berkembangnya serangkaian gejala khas suatu kejadian traumatis, termasuk gejala pikiran dan ingatan yang mengganggu (intrusif), penghindaran kenangan akan traumanya, pengumpulan emosi dan sangat sensitif (hyper arousal).


C. Jenis PTSD
            PTSD adalah konsekuensi jangka panjang dari trauma dimana gejalanya bertahan lebih dari satu bulan. Terdapat 3 jenis PTSD, yaitu:
1.    PTSD akut terjadi jika tanda dan gejalanya berakhir dalam waktu 1-3 bulan.
2.    PTSD kronik terjadi jika tanda dan gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan.
3.    PTSD with delayed onset terjadi jika tanda dan gejalanya baru muncul minimal 6 bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah kejadian traumatik terjadi.

D. Etiologi
            Beberapa kejadian traumatis yang dapat memicu terjadinya PTSD antara lain:
1.    Trauma yang disebabkan karena pengalaman masa lalu terkait masa anak-anak seperti menjadi korban kekerasan seksual, perpindahan dengan orang tua pada usia dini, perceraian, bahkan kemiskinan.
2. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi,  banjir, angin topan), kecelakaan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh diri, kematian anggota keluarga atau sahabat secara mendadak, mengidap penyakit yang mematikan (AIDS, kanker).
3. Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interperpersonal attack seperti korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual, penyerangan atau penyiksaan fisik, peristiwa kriminal (perampokan dengan kekerasan), penculikan, menyaksikan peristiwa penembakan atau tertembak oleh orang lain.
4. Trauma yang terjadi akibat atau konflik bersenjata seperti tentara yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang atau yang diserang, korban terorisme atau yang diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang yang menyaksikan atau mengalami kekerasan.
5. Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang diderita individu seperti kanker, rheumatoid arthritis, jantung, diabetes, renal failure, multiple sclerosis, AIDS dan penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya.

E. Faktor Risiko
            Terdapat banyak faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya PTSD dan ada pula faktor resilence yang mampu mengurangi risiko terjadinya PTSD. Kedua faktor ini sudah ada sebelum individu mengalami trauma dan menjadi penting selama dan sesudah terjadinya trauma. Adapun faktor risiko terjadinya PTSD adalah sebagai berikut :
1.    Jenis kelamin. Perempuan memiliki risiko lebih besar karena rendahnya serotinin, tingginya prevalensi perempuan untukmenjadi korban kejadian traumatis.
2.    Mengalami trauma intens atau trauma jangka panjang.
3.    Memiliki trauma diawal kehidupan.
4.    Memiliki masalah  kesehatan mental lainnya, seperti kecemasan atau depresi.
5.    Karena tidak memiliki sistem pendukung yang baik dari keluarga dan teman.
6.    Memiliki kerabat dekat dengan masalah kesehatan mental, termasuk PTSD.
7.    Memiliki kerabat dekat dengan depresi.
8.    Setelah dilecehkan atau disia-siakan sebagai seorang anak.

            Selain faktor resiko tersebut, terdapat juga faktor resilence yang merupakan proses dinamis dalam diri individu dalam mengembangkan kemampuannya untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang dialaminya pada situasi sulit agar dapat beradaptasi secara positif. Faktor resilence adalah mencari dukungan orang lain, memiliki support group setelah kejadian traumatis, perasaan yang lebih baik terhadap reaksi yang timbul untuk menghadapi bahaya, memiliki strategi koping yang efektif, dan mampu bertindak dan merespon secara efektif dari pada merasa ketakutan.

F. Patofisiologi
            PTSD terjadi karena ada proses yang terjadi di otak. Individu yang mengalami PTSD akan merasakan berbagai perubahan pada fisiknya. Sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom akan mempengaruhi oleh kondisi ini. Selain itu terjadi penurunan ukuran dari hipokampus dan amigdala yang over reaktif. Amigdala dan hipokampus adalah kunci dari memori manusia (Schiraldi, 2009). Amigdala sebagai fear center dari otak membantu otak dalam membuat hubungan antara situasi yang menimbulkan ketakutan di masa lalu. Sedangkan hipokampus membantu menciptakan harapan-harapan terhadap situasi yang akan memberikan reward atau punishment berdasarkan memori atau pengalaman masa lalu.
            Hormon stress pada penderita PTSD juga tidak normal. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan PTSD memiliki hormon kortisol yang rendah jika dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami PTSD. Selain itu juga hormon epinefrin dan norepinefrin terjadi peningkatan. Ketiga hormon tersebut berperan penting dalam menciptakan respon flight or fight terhadap situasi stress.

G. Manifestasi Klinis
            Secara umum PTSD ditandai dengan munculnya beberapa gangguan fisik atau perilaku, gangguan berfikir dan gangguan emosi. Gangguan yang muncul pada individu tidak sama satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut tergantung dari kemampuan individu untuk mengatasi kejadian traumatik tersebut. Meskipun demikian, gejala PTSD sendiri biasanya dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu :
1.    Merasakan kembali kejadian traumatik (reexperiencing symptoms) :
a.    Secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan tidak menyenangkan mengenai kejadian traumatik.
b.    Mengalami mimpi buruk yang terus menerus dan berulang.
c.    Bertindak atau merasakan seakan-akan kejadian traumatik akan terulang kembali (flashback).
d.   Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali kejadian traumatik.
e.    Terjadi respon fisikal, seperti jantung berdetak kencang atau berkeringat ketika teringat kejadian traumatik.
2.    Adanya perilaku menghindar (avoidant symptoms)
a.    Berusaha keras menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan mengenai kejadian traumatik.
b.    Berusaha keras menghindari tempat atau orang-orang yang dapat mengingatkan kembali akan kejadian traumatik.
c.    Sulit untuk mengingat kembali bagian penting dari kejadian traumatik.
d.   Kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif penting.
e.    Merasa jauh atau seperti ada jarak dengan orang lain.
f.     Mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti kesenangan, kebahagiaan, cinta atau kasih sayang.
g.    Merasakan seakan-akan hidup seperti terputus di tengah-tengah dan tidak berharap lagi untuk dapat kembali menjalani hidup normal.
3.    Timbulnya gejala berlebihan (hyper arausal symptoms)
a.    Sulit tidur disertai gelisah.
b.    Mudah marah atau meledak-ledak.
c.    Sulit berkonsentrasi.
d.   Selalu merasa seperti sedang diawasi (curiga).
e.    Gelisah, tidak tenang atau menjadi sangat waspada

H. Diagnosis
            Seseorang dikatakan menderita PSTD jika dalam waktu minimal 1 bulan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.    Mengalami kejadian traumatis.
2.    Minimal memiliki 1 tanda re-experiencing symptoms.
3.    Minimal memiliki 3 tanda avoiding symptoms.
4.    Minimal memiliki 2 tanda hyper-arousal symptoms.
5.    Tanda dan gejala yang menyebabkan individu ksulitan dalam menjalani kehidupan sehari- hari.

            Selain itu, kriteria diagnostik PTSD menurut DSM IV (barlow &Durand, 2006) adalah sebagai berikut:
1.    Temperature kejadian traumatik, dimana orang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan pada situasi yang melibatkan kematian, ancaman kematian atau cedera serius yang di dalam responya terhadap kejadian tersebut orang bereaksi dengan ketakutan yang intens, perasaan tidak berdaya atau kengerian.
2.    Kejadian traumatic itu secara persisten dialami kembali dengan salah satu cara (atu lebih) berikut ini:
a.    Ingatan yang menimbulkan distres yang terjadi berulang- ulang dan persisten termasuk ingatan tentang berbagai gambaran, pikiran dan presepsi.
b.    Mimpi tentang kejadian traumatic yang menimbulkan distress dan terjadi berulang- ulang.
c.    Adanya perasaan bahwa kejadian traumatik itu berulang lagi, termasuk ilusi, halusinasi dan kilas balik disosiatif.
d.   Reaksi fisiologis terhadap stimulus- stimulus yang mengingatkan pada kejadian itu.
3.    Perilaku menghindar yang persisten terhadap stimuli yang berhubungan dengan trauma dan pematirasaan responsivitas secara umum
4.    Gejala arousal yang meningkat yang bersifat persisten seperti sulit tidur, iritabilitas dan kewaspadaan yang terlalu berlebihan
5.    Distress atau hendaknya yang dignifikan secara klinis di bidang social, pekerjaan atu bidang- bidang fungsi penting lainnya.
6.    Lamanya gangguan berlangsung lebih dari 1 bulan.

 I.     Penanganan
              Penanganan PTSD menurut NIMH (2008) adalah psikoterapi dan pengobatan atau kombinasi keduanya.
1.    Psikoterapi
       Psikoterapi yang dilakukan untuk mengatasi PTSD terbagi menjadi 5 pendekatan, yaitu :
a.    Psikoanalitik terapi dimana terapi berfokus pada konflik alam bawah sadar klien untuk mempengaruhi kehidupan klien. Terapi ini bertujuan untuk membawa fikiran alam bawah sadar ke permukaan dan menjadikannya bermakna.
b.    Terapi perilaku yang berfokus pada kemampuan belajar terhadap perilaku normal dan abnormal. Salah satu bentuk terapinya adalah cognitive-behavioral theraphy (CBT). CBT merupakan bentuk psikoterapi yang didasarkan pada teori bahwa tanda dan gejala fisiologis berhubungan dengan interaksi antara fikiran, perilaku, dan emosi. CBT berfokus pada masalah, berorientasi pada tujuan dan kesuksesan dengan masalah disini dan sekarang. Pemberian CBT dan pengobatan dengan anti ansietas dan anti depresan dalam waktu 6-8 minggu akan membantu mengatasi PTSD sebanyak 70-90%. Tujuan CBT adalah untuk memodifikasi fungsi berfikir, perasaan, bertindak, dengan menekan fungsi otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat, dan mengambil keputusan kembali. Sehingga diharapkan perilaku negatif klien berubah menjadi perilaku positif sehingga klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya.
c. teerapi kognitif yang lebih berfokus pada apa yang dipikirkan dari pada apa yang dilakukan. Terapi ini membantu klien untuk mengidentifikasi dan mengubah pola berfikir yang destruktif. Terapi ini akan merubah keyakinan yang irasional yang akan mempengaruhi emosi dan fungsi individu. Tujuan dari teraopi kognitif adalah mengidentifikasi pikiran yang terganggu, mempertimbangakan akibatanya, dan mengadopsi fikiran yang lebih realistis demi terciptanyakondisi emosional yang seimbang.
d. terapi humanistik yang berfokus pada kemampuan individu untuk membuat pilihan yang rasional dan mengembangkannya secara maksimal. Terdapat 3 jenis terapi ini yaitu client-centered theraphy, gestalt theraphy, dan existensial theraphy.
e. holistik terapi yaitu gabungan dari beberapa pendekatan dan menyesuaikan kebutuhan klien.

2. pengobatan
            Pengobatan pada penderita PTSD biasanya dilakukan dengan pemberian psikofarmaka seperti Antidepresant, bezodiazepine, antipsikotik, dan antidepresan lainnya. Antidepresan yang biasa digunakan adalah golongan selective serotonin reuptake inhibuitor (SSRI). Terdapat 5 jenis SSRI yang dapat digunakan pada PTSD yaitu zoloft (sertaline), paxil (peroxetine), prozac (flouzectine), luvoc (fluvoxamine), dan celexa (citalopram). Obat yang paling efektif dan paling sedikit yang memberikan efek samping adalah SSRI.



SUMBER : 

Widyanto, Faisalado Candra dan Cecep Triwibowo. 2013. Trend Disease (Trend Penyakit Saat Ini). Jakarta : Trans Info Media.

Tidak ada komentar: